Jidat Sang Ustad
Cerpen Indah Noviariesta
—————————————————————————————–
Siapa yang tak kenal Ustad Badru Munawar yang disebut-sebut sebagai “Ustad Jenong”. Dialah seorang ustad dan penceramah yang jidatnya menonjol ke depan sekitar tiga hingga lima sentimeter. Di desa Karang Asem, tiapkali menyampaikan ceramah agama, ia begitu digemari para jamaahnya. Ketika ia mendapat giliran ceramah di malam Selasa, tak urung ratusan jamaah dari para ibu, bapak hingga anak-anak dan remaja, berkumpul dengan penuh antusias mendengarkan petuah-petuah beliau.
Selama duapuluh tahun, sejak hari-hari di masa mudanya, ia masih menjadi seorang marbot dan guru ngaji di majid Darul Muttaqin. Kemudian, oleh Kepala Desa dipercayakan sebagai ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dan pelayan masyarakat. Karena itu, ia merasa tersiksa dengan bentuk jidatnya yang menonjol, meski berusaha mengendalikan diri agar tak terlihat oleh orang-orang yang dia layani.
Tetapi, bagaimana dia bisa menyembunyikan diri dari cengkeraman nasib. Ia tak bisa membeli kopiah khusus yang bisa menutupi jidatnya. Juga tak mungkin memesan pada pemilik pabrik kopiah, agar dibuatkan kopiah khusus yang sesuai dengan bentuk jidatnya. Tapi bagaimanapun, dia akan menjaga otoritasnya sebagai pelayan masyarakat, juga sebagai guru ngaji untuk anak-anak dan remaja, yang kadang seenaknya melontarkan kata-kata tak senonoh. Karena itu, sang ustad merasa riskan jika mendengar kata ”jenong” atau bahkan sekadar kata “jidat”.
Akhirnya, ketika posisinya meningkat selaku penceramah agama, Ustad Jenong memakai kopiah yang agak longgar, hingga terkesan agak menempel di tonjolan jidatnya. Hal itu agak merasa ringan, tetapi tetap saja belum bisa menjawab kegundahannya ketika ia harus melakukan salat dalam keadaan sujud, di mana posisi jidat dan hidung semestinya dalam keadaan sejajar secara simetris. Lalu, bagaimana jika posisi jidat jauh lebih menonjol sepanjang lima senti ketimbang ujung hidungnya?
Kadang warga desa bertanya-tanya, dalam usianya yang sudah menginjak 40-an, siapakah wanita yang kelak menjadi istri sang Ustad? Adakah wanita desa yang bersedia menjadi istri seorang pria yang jidatnya terlampau menonjol ke depan, meskipun ia seorang penceramah?
Ustad Jenong telah berikhtiar dengan mencoba berbagai macam cara, yang memungkinkan jidatnya bisa terpangkas. Masalahnya, bukan lantaran daging jadi maupun tumor, tetapi memang struktur tengkorak bagian jidatnya tiba-tiba semakin menonjol dari tahun ke tahun. Sempat ia memprotes pada Tuhan, lalu membaca salah satu ayat Alquran yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan sebaik-baiknya makhluk bernama manusia. Tetapi kemudian, muncullah gugatan serius dalam pikirannya, bahwa toh tidak semua manusia terlahir dalam posisi normal dan sempurna. Ada yang hidungnya pesek, mancung, bahkan ada yang tak punya hidung sama sekali.
Begitupun halnya dengan nasib dirinya. Apa maksud di balik penciptaan jidat yang sedemikian jenongnya? Sementara kebanyakan orang memiliki jidat yang pipih, rata dan menarik dipandang mata? Kalau jenongnya itu hanya setengah senti atau bahkan satu senti, masih mending, tetapi kalau sampai lima senti seperti dirinya?
Seringkali ia mengamati dengan seksama di hadapan cermin dari berbagai sudut pandang. Dari jarak terdekat, menengah hingga terjauh. Sesekali ia menekan sekeras-kerasnya dengan telapak tangan. Tetapi tetap saja ia kurang merasa puas dengan kondisinya, dan juga tak pernah membuat jidatnya mengecil dengan memijitnya keras-keras. Malah, semakin berlama-lama mengamati bentuknya, nampak semakin memanjang si jidat terlihat di matanya.
Sesekali ia mengambil beberapa foto, lalu membandingkan dirinya dengan bentuk jidat orang lain. Ketika ia mengajar ngaji, kadang berlama-lama menatap jidat murid-muridnya satu persatu. Pada peringatan hari besar keagamaan, baik tahun baru Hijriah maupun maulid Nabi, ratusan warga desa berkumpul di masjid, lalu diam-diam ia mengamati mereka satu persatu dari jarak dekat. Dengan penuh kesabaran, ia mengandai-andai sekiranya ada satu orang saja yang memiliki bentuk jidat seperti dirinya. Hingga beban pikirannya terasa agak ringan ditanggungnya.
Hal ini membuat sang ustad tidak menaruh minat sama sekali pada kemeja atau sarung bermerk yang dikenakan para jamaah. Hanya soal jidat, itu saja yang diperhitungkannya. Sejauh pengamatan sang ustad, ia sempat menemukan bentuk jidat yang memiliki bulatan hitam seperti luka bakar. Ada juga yang agak melebar laiknya kepala botak, tetapi tidak ada yang berjidat terlampau menonjol seperti dirinya. Tiap kali usahanya gagal, pikirannya semakin kalut tak keruan. Ketika sedang mengobrol, secara tak sadar ia menyentuh ujungnya dengan jari-jemari, kemudian ketika tersadar kontan wajahnya merona dan memerah karena rasa malu.
Sering ia masuk ke perpustakaan daerah, melihat buku-buku tentang perjalanan hidup para tokoh, pahlawan, wali hingga para nabi. Ia mengamati foto atau gambar-gambar mereka. Adakah dari mereka yang memiliki jidat yang menonjol seperti dirinya? Walhasil, tidak juga ia temukan.
Walaupun ada tokoh pejuang yang katanya memiliki tanduk di kepalanya, tapi itu kan tampilan gambar yang dibuat seorang pelukis. Bukan wajah asli yang nampak sebagaimana foto yang jelas dan nyata. Sesaat ia merasa gembira ketika menyaksikan foto seorang pahlawan dan pejuang Cina dari kerajaan Chu Chan (abad ke-3) yang memiliki telinga panjang seperti tokoh dalam film Star Trek. Ia membatin, betapa menyenangkannya jika jidat sang pahlawan yang panjang dan bukan telinganya. Dan alangkah menyenangkan jika orang-orang memanggilnya “Ustad Badru” seperti dulu ketika ia menjadi marbot dan mengajar ngaji di masjid Darul Muttaqin.
Tidak hanya mencari penghiburan lewat jalan spiritual, Ustad Jenong juga telah mencoba berbagai macam cara praktis untuk membuat jidatnya merata. Ia pernah mencoba resep-resep yang terbuat dari kunyit, jahe hingga ketumbar. Ia juga pernah mengompres jidatnya selama berminggu-minggu dengan daun sirih. Namun, meski segala usaha telah dikerahkan, tetap saja ia memiliki jidat menonjol dan terus menonjol sesuai dengan pertambahan usianya.
Pernah ada seseorang menyarankan agar diadakan operasi. Tetapi mendengar kata “operasi” justru membuat pikirannya kalut dan kalang kabut. Dan alasan untuk menolaknya telah dibenarkan oleh seorang dokter yang pernah menyatakan bahwa posisi dahi dan jidat sangat berdekatan dengan otak depan yang disebut cortex prefrontal. Organ yang satu itu terus-menerus mengalami evolusi. Ia menyangkut kecerdasan manusia untuk menimbang, menakar dan membandingkan sesuatu secara baik dan terarah.
Meskipun kurang paham apa-apa yang dinyatakan sang dokter, tetapi paling tidak Ustaz Jenong pernah mendengar adanya pendapat seorang dokter yang membenarkan pendiriannya untuk menolak dan menghindari “operasi”, suatu kata yang terdengar menyeramkan baginya. Sampai kemudian, tibalah waktunya ketika orang-orang di kampung seberang dihebohkan oleh berita penangkapan seorang guru ngaji bernama Badru Sukmara yang juga dikenal dengan sebutan “Ustad Badru”, sama persis dengan sebutan dirinya. Diberitakan pula di televisi dan koran-koran lokal dan nasional, bahwa Ustad Badru sebagai guru ngaji, telah mencabuli tujuh murid-muridnya di masjid “Nurul Huda” desa Cimuncang.
“Apakah Ustad Badru yang biasa menyampaikan ceramah pada malam Selasa itu?” tanya masyarakat desa Karang Asem.
“Bukan. Kalau itu Ustad Jenong. Nama aslinya Badru Munawar. Memang dulu pernah dipanggil Ustad Badru. Dan dulu dia juga pernah mengajar ngaji.”
Mulai sejak itu, ia merasa bersyukur dirinya menyandang sebutan Ustad Jenong. Sebab, panggilan Ustad Badru telah menjadi stigma negatif dalam pandangan masyarakat desa. Kini, berkat pengalamannya itu, ceramah-ceramahnya semakin berbobot, dan terus dihadiri ratusan jamaah dari seluruh penjuru desa dan perkampungan. Pada malam Selasa esok hari, ia sudah mempersiapkan materi ceramahnya, dengan tema “Syukuri Apa yang Ada”. (*)
Indah Noviariesta
Peneliti sastra mutakhir Indonesia, aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa). Menulis esai dan cerpen di berbagai media massa lokal, nasional, luring dan daring.